Senin, 09 April 2012

RUU PT ? Agenda Kapitalisasi Pendidikan Jilid II


Oleh : Indah Fajar Rosalina (10210099)
A.    LATAR BELAKANG
            Dalam pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4 berbunyi ”…Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”. Terlihat sangat jelas tujuan dari system pendidikan bangsa Indonesia. Namun, semenjak Indonesia bergabung menjadi anggota lembaga liberalisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization)  sejak tahun 1994 dan menandatangani General Agreement on Trades in Services pada tahun 2005 yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi)Klasifikasi sektor jasa menurut GATS tersebut ada 12 yaitu :
Business services, Communication servicesConstruction and related engineering servicesDistribution servicesEducation servicesEnvironmental servicesFinancial servicesHealth related and social servicesTourism and travel related servicesRecreational, cultural and sporting services,Transportational services, and Other services not included elsewhere.”
Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan.
          Hal ini merupakan awal dari system kapitalisasi pendidikan bangsa kita, dimana system pendidikan kita tak ayalnya seperti industri pertambangan, perdagangan, jasa perbankan dan keuangan serta jasa-jasa lainnya.
            Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut –termasuk sektor pendidikan tinggi— arus globalisasi menjadi kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi. Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan.
Atas dasar itu pemerintah mencoba merombak UU kependidikan yang tentu saja berasaskan kapitalisme yang sangat bertolak belakang dengan UUD 1945. Diantaranya, pemerintah mengesahkannya UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang kemudian menjadi landasan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Namun, karena mengalami Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 lalu, maka UU BHP ini dibatalkan. Seolah hanya bermain kata dan bahasa, RUU PT sebenarnya hanya konstruksi dari UU BHP, mengingat beberapa pasal pada RUU PT menyerupai UU BHP yang juga bertentangan dengan UU 1945 pasal 31 tentang Pendidikan ayat : ”(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

B.     ANALISIS
Melalui landasan pasal di atas, penulis mencoba menganalisis beberapa pasal yang bermasalah dari draft terbaru RUU PT ini. Draft ini dihasilkan pada 22 Februari 2012 lalu, masih banyak pasal yang substansi dan semangatnya justru tidak jauh berbeda dari UU BHP yang sudah dibatalkan. Semangat liberalisasi pendidikan masih berada dalam substansi RUU PT, walau dikemas dalam kata-kata yang berbeda.
1. Pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi tiga jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat “liberalisasi” dalam pembiayaan. Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h). Pasal 80 RUU Pendidikan Tinggi mengatur bahwa perguruan tinggi otonom boleh mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Kampus tak ubahnya perusahaan yang mencari dana dengan punya badan usaha, karena pembiayaan dari negara dikurangi. Aset Kampus Bebas Disewakan oleh Universitas dengan biaya mahal. Biaya kuliah akan semakin mahal.
2. Internasionalisasi. Di pasal 114, perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (ayat 1). Prosesnya dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi Indonesia dan mengangkat dosen serta tenaga kependidikan dari warga negara Indonesia (ayat 2). Nantinya akan muncul nama-nama seperti Oxford University cabang Jakarta. Tentu ini membuat PTS kecil gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan kancah internasional. Kerjasama Internasional boleh-boleh saja untuk menghadapi zaman globalisasi ini, asalkan ada filter kebudayaan yang kuat agar nilai-nilai budaya kita tidak luntur, dan ideology kita tidak lemah. Namun, penulis rasa hal ini sangat sulit. Karena kebiasaan orang Indonesia yang senang dengan hal-hal yang baru dan sebagai second adapter tentu sulit untuk mempertahankan ideology dan kebudayaan bangsa.
3. Pasal 90 : Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa, pemerintah memiliki opsi yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2 huruf c). Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan bunga (ayat 3) dan dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan. Jadi, jika ada rakyat kecil tidak mampu yang ingin berkuliah, ia akan dipinjami uang oleh negara dan harus ia bayarkan setelah lulus. Alih-alih mengentaskan pendidikan, pemerintah malah mengajarkan masyarakatnya untuk berhutang dan menambah beban pikiran mahasiswa dengan utang. Pendidikan layaknya bisnis peminjaman modal kepada rentenir.
4. Ada 3 pasal yang mengatur spesifik mengenai mahasiswa, yaitu pasal 14 tentang posisi mahasiswa sebagai sivitas akademika, pasal 15 tentang kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta pasal 91 tentang organisasi kemahasiswaan. Pasal 15 menyebutkan bahwa kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan (penjelas, ayat 2), sementara peraturan mengenai kegiatan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri. Bagaikan mengulang kembali peristiwa MALARI yang menghasilkan NKK/BKK (Normalisasi Keadaan Kampus) yang sampai saat ini dibawah naungan Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan. Pasal ini juga bisa dikatakan sebagai “kutu loncat”, artinya peraturan Menteri sebagai peraturan paling tinggi, mengalahkan Peraturan Pemerintah dalam mengambil keputusan.
5. Pasal 70 ayat (3) menyatakan bahwa PTS itu sifatnya berbadan hukum bersifat nirlaba. Sementara itu, bentuk Yayasan juga Badan Hukum. Pasal ini mendapat banyak penolakan dari banyak pihak PTS yang berada dibaawah naungan Yayasan. Karena nantinya PTS akan bergerak secara mandiri tanpa sokongan dana dari yayasan, begitupula yayasan akan kehilangan assetnya, karena kedudukan yayasan dan PTS ialah sama.
Berikut contoh dari kemiripan UU BHP dengan RUU PT
Jilid I vs Jilid II
UU BHP
RUU PT
Pasal 41
4. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah.

Pasal 106
6. Mahasiswa paling banyak menanggung 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional pendidikan
Pasal 43
1.   Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai ketentuan peraturan perundangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
Pasal 80
2.     f. PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri
h. serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi.
Pasal 46
1.   Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima WNI yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.

2.   Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Pasal 58

1.       PTP wajib menjaring dan menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru.

2.       PTP wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi tetapi memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa.


3.      KESIMPULAN
RUU PT merupakan Undang-undang yang berlandaskan liberalisasi (kapitalisme) yang tidak sesuai dengan landasan UUD 1945 bangsa. RUU tersebut mendapatkan banyak penolakan dari berbagai macam pihak baik itu dari PTS maupun PTN, hingga akhirnya pada KOMPAS.com (03/04) yang penulis baca, mendapat penundaan pengesahan hingga tanggal keputusan 10 April mendatang. Dikarenakan banyak pasal-pasal yang dianggap terlalu terburu-buru diambil, tidak jelas, tidak sesuai dan tidak banyak yang tau.
Sejatinya pemerintah dan anggota parlemen lebih berhati-hati lagi dalam membuat perundang-undangan, disesuaikan dengan landasan pasal 31 UUD 1945, serta cita-cita bangsa kita untuk mensejahterkan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan untuk mensejahterakan kehidupan pasar bebas, dan mencerdaskan kaum kapital untuk menguasai bangsa ini. Pendidikan bukanlah bisnis pertambangan, transportasi, minyak dan sebagainya, melainkan pendidikan merupakan upaya sosial, politik dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan jalan untuk memiliki kesadaran diri guna pembebasan nasional menuju kemerdekaan sejati. Oleh karena itu, pendidikan adalah layanan yang merupakan kewajiban Pemerintah dan bukan bidang usaha yang perlu diliberalisasikan.

SUMBER-SUMBER
Koran Harian              : (KOMPAS, Republika, Kedaulatau Rakyat, JawaPos dll)
Media Online              : (Detik.com ; VivaNews)
Sebuah Catatan dari    : (BEM KM UGM, Ikatan Mahasiswa Indonesia cabang Bekasi)
Draft                     : RUU PT tahun 2011 ; UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ; Draft  perihal Pendanaan UU BHP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar